LANGIT indah bertabur temaram bintang malam ini. Sang dewi malam dengan
anggun menebar senyumnya yang merekah. Seperti bibir bidadari surga.
Lama rasanya aku melupakan atap dunia itu. Aku terlalu sibuk berada di
bumi hingga tak sempat menengok langit. Bintang, benda langit itu
berkerlap-kerlip seakan menggodaku. Bagai tangan malaikat yang melambai
agar aku menghampirinya. Ia mengingatkanku pada mitos bintang jatuh.
Kata orang, bintang jatuh dapat mengabulkan permintaan manusia.
Benarkah? Jika iya, aku rela menunggu benda langit itu tertarik
gravitasi bumi, meski harus menantinya tiap malam, hanya untuk satu
permintaan. Ah, kenapa pula aku jadi seperti bocah. Mana mungkin benda
langit yang tak mampu melawan takdir untuk diriku sendiri tersebut
mampu mengabulkan keinginan makhuk lain?
Seandainya bintang jatuh mampu mengabulkan keinginan, pasti aku akan meminta sendiri kepada Tuhan agar dapat melupakan seseorang bernama Dave.
Sayang, saat ini, aku yang sedang sentimentil merasa bintang yang
menggoda itu seakan seperti pantulan cermin atas dirinya sendiri. Awalnya
begitu indah, tinggi di awang-awang namun tak terjamah, jauh, dan jika
Tuhan menghendakinya jatuh, aku tak mampu melawan.
Aku duduk dengan buku sketsa bersampul warna hitam di pangkuan. Buku
itu terbuka menunjukkan kertas kosong. Tangan kananku memegang sebatang
pensil yang cermat diraut hingga tebal goresan grafit akan sesuai
kehendakku tidak terlalu tebal dan tidak terlalu halus.Kopi panas dicangkir ditemani beberapa batang rokok. Semua harus sesempurna keinginanku, sebab aku sedang membayangkan wajah lelaki yang pernah singgah dihatiku.
Aku mulai menggambar wajah lelaki itu, sambil mengingat betapa menawan dan tampan. Tapi aku selalu muak melihat wajah tampan dengan sejuta kebohongan dihatinya. Ku putuskan untuk tidak menggambarnya.
Langit malam yang berhias bintang - bintang. Ah, pikiranku masih saja penuh dengan seseorang bernama Dave itu, bolehkah aku berharap kali ini saja? Aku ingin dia hilang dari pikiranku. Aku muak dengan semua kata manis dan semua wanita yang hanya jadi mainan baru untuknya.
Aku kembali menatap langit, memandang rasi bintang scorpio yang hampir menyerupai huruf "J" itu. Terkesiap aku membulatkan bola mataku. Apa ini tanda? Dari sekian banyak bintang, pertama kali aku menemukan rasi bintang scorpio. Apa mungkin "J" berarti
jangan? Jangan berharap. Atau mungkin jangan yang lain, yang jika aku melarangnya akan berakhir luka? Ah entahlah, ini sudah terlalu malam, aku bergurau bersama bintang jarak jauh sambil bercerita tentang harapan yang ada dipikiranku.
Aku berlari tergesa-gesa sambil sesekali kedua bola mataku mengarah
ke jam tangan biru mudaku. 15:15. Aku sudah terlambat 15 menit,
seharusnya aku minta diantar daripada berlari seperti seseorang yang
dikejar sesuatu. Tak kupedulikan apa dan siapa yang terlintas di depan
langkahku, yang penting aku bisa mengelak dari mereka dan sampai ke
tujuan dengan segera. Ransel yang mengikutku dari belakang sudah miring
ke kanan dan kekiri mengikuti arah langkah kakiku.
Hufffttt…. 10 meter lagi sampai lah aku ke sebuah rumah dengan
pamphlet “Beauty Painting” tempat aku melatih sekaligus mengembangkan
bakat melukisku.
3… 2… 1…. Akku melangkahkan kakiku dengan pasti, dan sesegera mungkin
membuka pintu. Tringninging, lonceng yang menggantung di pintu itu
berteriak akibat dorongan pintu yang cukup keras. Semua orang yang ada
di ruangan itu langsung menoleh ke arah ku. Aku langsung menundukkan
kepala sembari meminta maaf, dan langsung menuju kursi yang sering aku
tempati. Namun sebelumnya, seorang kakek tua yang kami panggil guru
mengahampiriku.
Guru: kenapa terlambat, dan berlaku seperti tadi, seolah-olah kau
sedang dikejar sesuatu sampai-sampai menimbulkan sedikit kekacauan
akibat pintu yang kau buka dengan keras? [gaya bicara guru memang
seperti itu, dia hampir menggunakan setiap kaidah berbahasa Indonesia
yang baik dan benar. Nada bicaranya sedikit keras namun sebenarnya
terdapat kelembutan yang mengalun dari setiap perkataan yang keluar dari
bibirnya yang berwarna merah kehitaman]
Aku: maafkan aku guru, aku terlambat dan membuat kekacauan seperti
tadi. Aku janji tidak akan mengulanginya kembali. [Ucapku sambil
menundukkan kepala]
Guru: janji? Aku tidak pernah percaya dan menerima janji atau sumpah,
bagiku perkataan seperti apa pun itu sama saja, tak ada yang
membedakannya kecuali perbuatan dan bukti nyata dari setiap
perkataannya. [ucap guruku tegas sambil menyilakan aku duduk]
Ini tidak kali pertama terjadi, mungkin sudah kali ketiga, dan rasa
malu tak terkira terbersit. Orang-orang di sekitarku masih memandangiku,
aku pun menundukkan kepala lagi. Segera aku mengeluarkan palet, cat
lukis, kuas dan alat-alat lainnya. Aku merapikan posisi dudukku agar aku
bisa duduk dengan santai dan segera mendapatkan inspirasi lalu
menuangkannya dalam kanvas putih di depan ku. Lama aku berpikir dan
berimajinasi, namun hasilnya nol, blank. Mungkin stok inspirasi serta
imajinasi ku habis pada saat itu, aku menggaruk-garuk kepalaku berharap
dewa atau dewi pemberi inspirasi dan imajinasi segera membantuku dari
krisis imajinasi yang sedang melanda diriku.
Guru: April, mencari inspirasi serta imajinasi itu tidak mudah, kau
harus menepis hal-hal yag mempengaruhi otak kirimu sehingga otak kanan
mu yang lebih dominan bekerja dan kau segera menemukan insiprasi.
Cobalah menenangkan dirimu sebentar. [Jelas guru ku.]
Aku: baik guru, aku akan mencoba. [jawabku dengan tegas dan pasti,
namun belum kupikirkan apakah perkataanku segera ku buktikan dan teori
singkatnya tadi segera ku aplikasikan dan bekerja dengan baik.]
Aku memandang sekelilingku mencari inspirasi, mataku tertuju pada jam
dinding tua yang tergantung tak jauh dari posisi ku berada. Timbul niat
untuk melukiskannya di kanvas ku dan menggabungkan kreativitas dengan
imajinasi ku, tapi tampaknya hal itu menuai jalan buntu kembali karena
jam dinding itu sudah ku lukis minggu lalu. Kembali aku menggaru-garuk
kepalaku yang sebenanrya tidak gatal sama sekali. Tiba-tiba perhatianku
teralihkan oleh sesosok pria yang duduk tak jauh dari tempat ku berada,
aku belum pernah melihat dan mengenal dia sbelumnya. Aku juga belum
pernah bertemu ataupun melihat dia di kursus ini, jadi ini kali pertama
aku bertemu denganya. Aku memperhatikan bagaimana dia menggoreskan
pensil di kanvasnya, dan sesekali dia menoleh ke arahku lalu menggambar
kembali. Sesaat aku menikmati cara dia melukis yang terlihat santai dan
menarik, dan tak jarang juga dia menoleh ke arah ku. Lama-lama aku sadar
ternyata akulah objek dari lukisan yang sedang dibuatnya. Aku pun
menghampirinya dan benar saja itu aku gambar sketsa wajahku yang setelah
kuperhatikan dengan seksama.
Aku: yang jadi objek lukisanmu aku kan? [Tanya ku langsung sembari
menghampiri dia yang sedang asik menggoreskan pensilnya di kanvas.
Cowok: oww… [teriaknya karena terkejut melihatku yang tau-tau sudah
ada di sampingnya] waah, sepertinya kau punya indera ke enam, begitu
melihat sketsa seperti in saja kau langsung tau siapa yang jadi objek
lukisannya. Tapi maaf saja, ini bukan dirimu ataupun wajahmu. [elaknya
sambil terus menggambar].
Aku: lalu siapa lagi kalau bukan aku? Lihat saja lekukan pipi serta lengkungan mata itu. Itu persis seperti wajahku kan?
Cowok: nona yang memiliki indera keenam, ini bukan sketsa wajahmu,
bahkan aku sendiri tidak tahu sketsa wajah siapa yang ku gambar,
tiba-tiba saja wajah seperti ini terlintas di benak ku dan minta diwujud
nyatakan. [jelasnya dengan santai dan tetap terlihat cool]
Aku: kenapa mengelak lagi? Jelas-jelas itu aku, ayo mengakulah aku takkan marah kok [ucapku sambil tersenyum]
Cowok: maaf yah, tapi ini bukan kau. Lagian wajah seperti ini takkan laku jika dijual dengan harga berapa pun.
Aku: hah? Apa-apaan kau ini? Sudah menggambar wajah orang seenaknya,
kau malah menghina ku. huhh [kesalku tak terima diperlakuakn seperti
tadi]
Aku pun kembali ke kursi ku, kemudian timbul niat untuk menggambar
wajahnya saja. Mulailah aku membuat sketsa wajahnya. Sesekali mata kami
tertangkap basah sedang memperhatikan satu sama lain.Tiba - tiba ia berjalan kearahku.
“Aku Mario” ucap lelaki itu
“Hey, bolehkah aku bertanya?” tanyaku sedikit ragu. Kini ia menatapku. “Tentu.” Jawabnya singkat.
“Kenapa kau bisa menggambar wajahku? Kita baru beberapa saat bertemu? Apa sekarang aku sedang bermimpi?” tanyaku.
“Mimpi? Apa kau berpikir begitu?” Mario balik bertanya.
“Ya, begitulah.”
“Kalau begitu kau benar. Ini semua hanyalah mimpi. Ini adalah dunia
yang kau ciptakan dengan imajinasimu. Aku juga bagian dari imajinasimu.”
Jawab Mario. Aku tertegun mendengar jawabannya itu.
“Itu artinya kau tidak nyata?”
“Ya. Saat kau terbangun dari tidurmu, maka aku akan menghilang dan kau harus melupakan lelaki yang bernama Dave”
“Tapi...”
“Sepertinya aku harus pergi sekarang. Selamat tinggal April.” Ucap Mario. Sebelum pergi Mario sempat memberiku sebuah hadiah, yaitu sebuah
cium manis di keningku. Harusnya aku merasa senang, tapi kenapa aku
malah merasa sakit? Apa karena Mario akan pergi?
“Kuharap kita bisa
bertemu lagi.” Kata Mario. Perlaan-lahan semuanya menghilang. Bukan hanya Mario, tapi semua orang ikut sirna,
bahkan aku tak pernah mengikuti kursus melukis sekalipun. Kini yang
kulihat hanyalah kegelapan yang pekat mengelilingiku tanpa sedikit pun
cahaya yang menerangi pandanganku.
pukul 02.00 Aku terbangun, ternyata aku tertidur dibalkon, aku segera bergegas kekamar untuk melanjutkan tidur. Tanpa sadar tiba- tiba aku menangis. Masih melekat dalam benakku mimpi
indah itu. Bisakah mimpi itu terulang kembali? Masih bisakah aku bertemu
dengannya? Aku harap semua itu bisa terjadi. Suara jam weker mendengung
di telingaku. Tanpa sadar aku tertidur di lantai saat menangis tadi.
Kulihat jam telah menunjukkan pukul 05.45. Meski masih ingin berada ditempat tidur, tapi lebih memilih keluar dihari Minggu pagi bersama teman - teman, karena aku sadar kalau sekarang aku tak lagi berada di dunia mimpi atau imajinasi tapi sekarang aku telah berada di dunia nyata.
Di pinggir
taman dengan suasana yang tepat, angin sepoi-sepoi menemaniku. Kutatap langit
indah yang dipenuhi awan awan putih, burung- burung berterbangan kesana kemari,
bernyanyi dan menari.
“Pril! bengong aja, gue beli ice cream potong dulu yah diujung, lu jangan kemana - mana. Mau nitip gak?” ucap Amy mengagetkanku.
“ah lo my! ngagetin aja, yaudah sana gih beli, ge nitip satu ya. hehe.”
“Okedeh, jangan ngilang!”. Bayangan Amy mulai hilang, aku duduk dipinggir taman sendiri. Tiba - tiba pria berbaju orange menarik perhatianku. Aku memperhatikan pria itu. Rasanya dia sangat mirip dengan orang yang kukenal. Apa kami pernah bertemu?.Saat ia berjalan, aku terus memandanginya karena aku yakin aku
pernah bertemu dengannya. Hanya saja aku tak ingat dimana. Tiba-tiba iaberjalan didepanku.
“Mario?” kataku setelah mengenali wajahnya.
“Mario?” pria itu nampak bingung. “Dari mana kau tau namaku? Apa kita
pernah bertemu?” tanyanya
“Tidak mungkin. Apa aku bermimpi lagi?” Kucoba memukul tanganku sendiri
dan ternyata rasanya sakit. Apa artinya ini bukan mimpi? Apa ini
kenyataan? Ya, ini memang kenyataan. Ternyata Mario bukan hanya
imajinasiku.
“Hey, dimana kita pernah bertemu?” tanyanya lagi.
“Kurasa dalam imajinasiku.” Jawabku sambil tersenyum.
“Imajinasi? Maksudmu?”
“Lupakan saja!” kataku mencoba menghentikan pembicaraan ini.
“Ayolah, beritau aku!” katanya penasaran. Ia terus bertanya sambil duduk disampingku.
Tak lama kemudian Amy datang
“Cie ditinggal bentar udah gandeng cowo aja nih, wkwk. Siapa Pril? Kenalin dong” ucap Amy sambil menyodorkan ice cream.
“Ih Amy, Ini Mario, Io kenalin ini Amy” Mereka saling berkenalan..
“Iya, kita mau kemana lagi nih, udah panas banget mataharinya?” Tanya Amy
“Kamu mau pulang my? Yaudah deh” Jawabku
“Kok pulang? baru juga duduk, gue masih kepo nih soal tadi” ucap Mario
“Yaudah ginia aja, kalian jalan berdua, gue pulang ya soalnya udah panas banget nih hehe”
Bayangan Amy mulai menghilang.
Aku dan Mario memutuskan pergi keMall. Semenjak hari itu kami sering berdua, bahkan Mario sering menjemputku sekolah, hampir setiap akhir pekan kita menghabiskan waktu bersama, kadang kami gambar bareng dirumahku, walaupun status kami masih teman. Mario membuatku melupakan Dave. Bintang jatuh begitu nyata untukku, Mario adalah bintang terindah, ia seperti Patrick selalu membuatku tertawa dengan tingkah bodohnya. Itu artinya dia bukan hanya imajinasiku. Dan yang aku sadari adalah,
imajinasi tak hanya berada dalam pikiranmu, tapi mungkin ia juga bisa
muncul dalam kehidupanmu.
END