Jumat, 21 November 2014

Kau Tutupi Pahit Kopi Dengan Manis Gula


IMG-20141120-03610
Kamu tahu tentang kisah sebuah meja kursi bambu?
Tentang aroma yang menjadi candu
Tentang ocehan manusia pecandu
Aku ingin menyeduh secangkir kopi
Kukira secangkir kopi akan melembutkan ceritaku
Kamu mau minum kopi juga?
Pagi ini ku seruput Kopi nikmat dan hangat, berasa mampu menghilangkan sisa-sisa dingin hati Sebulan yang lalu. Hening, kosong, dan seakan tak berada di tempatnya. Ku pandangi pemandangan pagi di balik jendela kamarku, dan sesekali tersenyum lalu kembali keranjag empukku sambil melihat foto-foto ku bersama seseorang yang pernah menjadi kekasihku. Aku tidak pandai menyimpan kenangan. Bagiku, masa lalu hanyalah serbuk kopi yang akan lenyap tersapu air hujan. Hilang tanpa bekas. Aku tidak suka mengenang, apalagi menyimpannya dalam pahatan memoriku. Mungkin aku perempuan aneh di antara deretan perempuan lainnya. Kebanyakan perempuan ditakdirkan sebagai pengingat ulung, yang susah melupakan kenangan, teraniaya oleh masa lalu. Tetapi, aku lebih menyukai hal-hal yang akan kulalui, bukan yang sudah kulalui.
Begitupula kenanganku tentangmu. Tak banyak yang bisa kuingat selain raut wajahmu yang chubby, tampan,  rambutmu yang sedikit gondrong, ciumanmu dengan seorang gadis yang membuat kita berpisah, dan yang paling kuingat kau satu dari sedikit lelaki yang tidak mengerenyitkan dahi secara aneh melihat kebiasaanku menikmati kopi. Kisah cinta yang harusnya menorehkan kenangan manis, tetapi, toh, ketika perpisahan kita terjadi, aku melupakanmu dalam hitungan minggu. Aku menggantikanmu dengan orang-orang baru. Lalu orang baru berganti dengan yang lebih baru. Begitu seterusnya hingga jejakmu benar-benar hilang tanpa bekas.
Kuhirup dalam-dalam semerbak wangi kopi sambil melayangkan kembali pikiranku ke memori pagi itu.
Namanya Rico
“Penikmat kafein murni?” terdengar suara berat dari arah belakang.
“Eh, iya. Butuh yang pahit biar bisa bangun”, aku terkejut, tiba-tiba lelaki yang duduk dipojok caffe itu duduk di sampingku.
“Well, Gue Rico”
Kubalas jabat tangannya sambil tersenyum.
“Vini
“Jadi, hanya kopi? Tanpa embel embel apa apa?”
Aku mengangguk “Gue butuh wangi orisinilnya untuk bangun. Hitam, pekat, pahit, hangat. Period.”
“Well, kopi yang sederhana”
Aku mengangkat mug ku dan tersenyum.
Obrolan kami mengalir dengan mudahnya. We have many things in common. Kopi, musik, seni rupa hingga filsafat yang gak ada titik terangnya. Pembicaraan yang terus berlanjut hingga aku menyesap tetesan terakhir dari kopi pertama pagi itu. Kopi yang terasa berbeda. Kopi pahitku yang biasanya datar kini kaya rasa. Entah kenapa. Mungkin karena terpana oleh senyum hangatnya. Bisa juga karena pandangan mata meneduhkannya.
Beberapa hari kami bertemu dan kencan, hingga hari ini kopi terasa manis klimaks, karena kami memutuskan untuk berpacaran.
Hubungan kami sudah hampir berjalan 5 bulan, esok tepat hari jadi kami. Aku berencana menyiapkan snack dan mendownload beberapa film box office untuk kami tonton besok malam. Aku berjalan ke Supermarket terdekat, tiba-tiba aku melihat Rico disebrang jalan, aku menghampirinya, namun wanita lain menghampiri sambil memeluknya. Rico pun membalaspelukan gadis itu, dan diciumlah keing gadis itu. Aku yang sudah meneteskan air mata, segera pulang. Setelah sampai dirumah aku menelpon Rico, untuk memutuskan hubungan kami.
Berkali-kali Rico menelponku untuk meminta penjelasan, tapi aku tak  menanggapinya.
Beberapa hari berlalu…
Aku kembali ke caffe tempat pertamaku mengenal Rico. Kuresapi kembali kopi pertama yang ku racik sendiri pagi ini. Kekentalannya sempurna. Namun pahit yang terasa tetap sama. Pahit sepahit-pahitnya.
Pria yang akhirnya menemaniku menyesap pahitnya kopi selama lima bulan terakhir di pagi hari.
“Kenapa mesti pahit?” tanyanya .
“Apanya?”
“Kopimu, kenapa harus hitam dan pahit?”
“Karena ada kamu” cetusku
Ia menggeleng, “Bisa kau jelaskan, kenapa kita jadi begitu jauh dan kenapa kopmu jadi sepahit ini? Sini aku cium, nggak pake pahit, dan pasti kamu bakal kebangun” cetusnya jahil.
Ritual pagi ku telah minus sepi. Aku mengundang seseorang ke dalamnya. Tak hanya sampai situ, aku bahkan mengundangnya ke dalam hati.
Aku tertawa mendengar pertanyaannya.
“Well, kenapa ya?
Hmm, somehow aku suka rasa pahitnya. Seperti hidup aja. Pahit yang muncul dalam keseharian justru buat hidup lebih kaya rasa”.
Ia melangkah mendekat lalu menatap mataku dalam-dalam, “Aku nggak pengen ada pahit sama sekali dalam harimu kecuali pahit yang kamu rasakan dari secangkir kopi pagi”
My heart skips a beat. Aku tak pernah kuasa mengendalikan diri jika ditatap olehnya seperti ini.
“Kenapa?” tanyaku tergugu, tak tahu harus berkata apa.
“Aku sayang kamu, Vin”, ujarnya lembut sambil mengecup keningku.
Secepat mungkin ku lepaskan kecupannya dan berlari pergi minggalkan kopi pahit dan menjauhi caffe itu.
Hingga sebulan kemudian, Rico mengajakku menghabiskan weekend bersama kopi dicaffe yang baru dibuka diperempatan jalan rumahku. Kami memutuskan menjadi sahabat. Sahabat yang memahami kopi sahabatnya, Sahabat yang dapat menutupi kopi pahit dengan manis senyum sahabatnya.

Autumn In Paris

Gambar ini terinspirasi salah satu novel Ilana Tan yang berjudul “Autumn In Paris”
B2ujn_tCAAEsrYO
“Apakah ada yang tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tidak boleh dicintai? Aku tahu. Hidup ini sungguh aneh, juga tidak adil. Suatu kali hidup melambungkanmu setinggi langit, kali lainnya hidup menghempaskanmu begitu keras ke bumi. Ketika aku menyadari dialah satu-satunya yang paling kubutuhkan dalam hidup ini, kenyataan berteriak di telingaku dia juga satu-satunya orang yang tidak boleh kudapatkan.”
― Ilana TanAutumn in Paris
“Selama dia bahagia, aku juga akan bahagia. Sesederhana itu.”
― Ilana TanAutumn in Paris
“Seandainya masih ada harapan – sekecil apapun untuk mengubah kenyataan, ia bersedia menggantungkan seluruh hidupnya demi harapan.”
 Ilana TanAutumn in Paris
“Sekarang… Saat ini saja… Untuk beberapa detik saja… aku ingin bersikap egois. Aku ingin melupakan semua orang, mengabaikan dunia, dan melupakan asal-usul serta latar belakangku. Tanpa beban, tuntutan, atau harapan, aku ingin mengaku.
Aku mencintainya.”
 Ilana TanAutumn in Paris
“Jangan marah padaku kalau aku menangis…. Hari ini saja…. Kau boleh lihat sendiri nanti. Kau akan lihat tidak lama lagi aku akan kembali bekerja, tertawa, dan mengoceh seperti biasa…. Aku janji….
-Tara Dupont”
― Ilana TanAutumn in Paris

Rabu, 29 Oktober 2014

Satu Bintang, Satu Harapan

BINTANG terindah begitu nyata baginya.

LANGIT indah bertabur temaram bintang malam ini. Sang dewi malam dengan anggun menebar senyumnya yang merekah. Seperti bibir bidadari surga. Lama rasanya aku melupakan atap dunia itu. Aku terlalu sibuk berada di bumi hingga tak sempat menengok langit. Bintang, benda langit itu berkerlap-kerlip seakan menggodaku. Bagai tangan malaikat yang melambai agar aku menghampirinya. Ia mengingatkanku pada mitos bintang jatuh.

Kata orang, bintang jatuh dapat mengabulkan permintaan manusia. Benarkah? Jika iya, aku rela menunggu benda langit itu tertarik gravitasi bumi, meski harus menantinya tiap malam, hanya untuk satu permintaan. Ah, kenapa pula aku jadi seperti bocah. Mana mungkin benda langit yang tak mampu melawan takdir untuk diriku sendiri tersebut mampu mengabulkan keinginan makhuk lain?

Seandainya bintang jatuh mampu mengabulkan keinginan, pasti aku akan meminta sendiri kepada Tuhan agar dapat melupakan seseorang bernama Dave.

Sayang, saat ini, aku yang sedang sentimentil merasa bintang yang menggoda itu seakan seperti pantulan cermin atas dirinya sendiri. Awalnya begitu indah, tinggi di awang-awang namun tak terjamah, jauh, dan jika Tuhan menghendakinya jatuh, aku tak mampu melawan.

Aku duduk dengan buku sketsa bersampul warna hitam di pangkuan. Buku itu terbuka menunjukkan kertas kosong. Tangan kananku memegang sebatang pensil yang cermat diraut hingga tebal goresan grafit akan sesuai kehendakku tidak terlalu tebal dan tidak terlalu halus.Kopi panas dicangkir ditemani beberapa batang rokok. Semua harus sesempurna keinginanku, sebab aku sedang membayangkan wajah lelaki yang pernah singgah dihatiku.

Aku mulai menggambar wajah lelaki itu, sambil mengingat betapa menawan dan tampan. Tapi aku selalu muak melihat wajah tampan dengan sejuta kebohongan dihatinya. Ku putuskan untuk tidak menggambarnya.

Langit malam yang berhias bintang - bintang. Ah, pikiranku masih saja penuh dengan seseorang bernama Dave itu, bolehkah aku berharap kali ini saja? Aku ingin dia hilang dari pikiranku. Aku muak dengan semua kata manis dan semua wanita yang hanya jadi mainan baru untuknya.

Aku kembali menatap langit, memandang rasi bintang scorpio yang hampir menyerupai huruf "J" itu. Terkesiap aku membulatkan bola mataku. Apa ini tanda? Dari sekian banyak bintang, pertama kali aku menemukan rasi bintang scorpio. Apa mungkin "J" berarti  jangan? Jangan berharap. Atau mungkin jangan yang lain, yang jika aku melarangnya akan berakhir luka? Ah entahlah, ini sudah terlalu malam, aku bergurau bersama bintang jarak jauh sambil bercerita tentang harapan yang ada dipikiranku.

Aku berlari tergesa-gesa sambil sesekali kedua bola mataku mengarah ke jam tangan biru mudaku. 15:15. Aku sudah terlambat 15 menit, seharusnya aku minta diantar daripada berlari seperti seseorang yang dikejar sesuatu. Tak kupedulikan apa dan siapa yang terlintas di depan langkahku, yang penting aku bisa mengelak dari mereka dan sampai ke tujuan dengan segera. Ransel yang mengikutku dari belakang sudah miring ke kanan dan kekiri mengikuti arah langkah kakiku.
Hufffttt…. 10 meter lagi sampai lah aku ke sebuah rumah dengan pamphlet “Beauty Painting” tempat aku melatih sekaligus mengembangkan bakat melukisku.
3… 2… 1…. Akku melangkahkan kakiku dengan pasti, dan sesegera mungkin membuka pintu. Tringninging, lonceng yang menggantung di pintu itu berteriak akibat dorongan pintu yang cukup keras. Semua orang yang ada di ruangan itu langsung menoleh ke arah ku. Aku langsung menundukkan kepala sembari meminta maaf, dan langsung menuju kursi yang sering aku tempati. Namun sebelumnya, seorang kakek tua yang kami panggil guru mengahampiriku.

Guru: kenapa terlambat, dan berlaku seperti tadi, seolah-olah kau sedang dikejar sesuatu sampai-sampai menimbulkan sedikit kekacauan akibat pintu yang kau buka dengan keras? [gaya bicara guru memang seperti itu, dia hampir menggunakan setiap kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Nada bicaranya sedikit keras namun sebenarnya terdapat kelembutan yang mengalun dari setiap perkataan yang keluar dari bibirnya yang berwarna merah kehitaman]

Aku: maafkan aku guru, aku terlambat dan membuat kekacauan seperti tadi. Aku janji tidak akan mengulanginya kembali. [Ucapku sambil menundukkan kepala]

Guru: janji? Aku tidak pernah percaya dan menerima janji atau sumpah, bagiku perkataan seperti apa pun itu sama saja, tak ada yang membedakannya kecuali perbuatan dan bukti nyata dari setiap perkataannya. [ucap guruku tegas sambil menyilakan aku duduk]

Ini tidak kali pertama terjadi, mungkin sudah kali ketiga, dan rasa malu tak terkira terbersit. Orang-orang di sekitarku masih memandangiku, aku pun menundukkan kepala lagi. Segera aku mengeluarkan palet, cat lukis, kuas dan alat-alat lainnya. Aku merapikan posisi dudukku agar aku bisa duduk dengan santai dan segera mendapatkan inspirasi lalu menuangkannya dalam kanvas putih di depan ku. Lama aku berpikir dan berimajinasi, namun hasilnya nol, blank. Mungkin stok inspirasi serta imajinasi ku habis pada saat itu, aku menggaruk-garuk kepalaku berharap dewa atau dewi pemberi inspirasi dan imajinasi segera membantuku dari krisis imajinasi yang sedang melanda diriku.

Guru: April, mencari inspirasi serta imajinasi itu tidak mudah, kau harus menepis hal-hal yag mempengaruhi otak kirimu sehingga otak kanan mu yang lebih dominan bekerja dan kau segera menemukan insiprasi. Cobalah menenangkan dirimu sebentar. [Jelas guru ku.]

Aku: baik guru, aku akan mencoba. [jawabku dengan tegas dan pasti, namun belum kupikirkan apakah perkataanku segera ku buktikan dan teori singkatnya tadi segera ku aplikasikan dan bekerja dengan baik.]
Aku memandang sekelilingku mencari inspirasi, mataku tertuju pada jam dinding tua yang tergantung tak jauh dari posisi ku berada. Timbul niat untuk melukiskannya di kanvas ku dan menggabungkan kreativitas dengan imajinasi ku, tapi tampaknya hal itu menuai jalan buntu kembali karena jam dinding itu sudah ku lukis minggu lalu. Kembali aku menggaru-garuk kepalaku yang sebenanrya tidak gatal sama sekali. Tiba-tiba perhatianku teralihkan oleh sesosok pria yang duduk tak jauh dari tempat ku berada, aku belum pernah melihat dan mengenal dia sbelumnya. Aku juga belum pernah bertemu ataupun melihat dia di kursus ini, jadi ini kali pertama aku bertemu denganya. Aku memperhatikan bagaimana dia menggoreskan pensil di kanvasnya, dan sesekali dia menoleh ke arahku lalu menggambar kembali. Sesaat aku menikmati cara dia melukis yang terlihat santai dan menarik, dan tak jarang juga dia menoleh ke arah ku. Lama-lama aku sadar ternyata akulah objek dari lukisan yang sedang dibuatnya. Aku pun menghampirinya dan benar saja itu aku gambar sketsa wajahku yang setelah kuperhatikan dengan seksama.

Aku: yang jadi objek lukisanmu aku kan? [Tanya ku langsung sembari menghampiri dia yang sedang asik menggoreskan pensilnya di kanvas.
Cowok: oww… [teriaknya karena terkejut melihatku yang tau-tau sudah ada di sampingnya] waah, sepertinya kau punya indera ke enam, begitu melihat sketsa seperti in saja kau langsung tau siapa yang jadi objek lukisannya. Tapi maaf saja, ini bukan dirimu ataupun wajahmu. [elaknya sambil terus menggambar].
Aku: lalu siapa lagi kalau bukan aku? Lihat saja lekukan pipi serta lengkungan mata itu. Itu persis seperti wajahku kan?
Cowok: nona yang memiliki indera keenam, ini bukan sketsa wajahmu,  bahkan aku sendiri tidak tahu sketsa wajah siapa yang ku gambar, tiba-tiba saja wajah seperti ini terlintas di benak ku dan minta diwujud nyatakan. [jelasnya dengan santai dan tetap terlihat cool]
Aku: kenapa mengelak lagi? Jelas-jelas itu aku, ayo mengakulah aku takkan marah kok [ucapku sambil tersenyum]
Cowok: maaf yah, tapi ini bukan kau. Lagian wajah seperti ini takkan laku jika dijual dengan harga berapa pun.
Aku: hah? Apa-apaan kau ini? Sudah menggambar wajah orang seenaknya, kau malah menghina ku. huhh [kesalku tak terima diperlakuakn seperti tadi]

Aku pun kembali ke kursi ku, kemudian timbul niat untuk menggambar wajahnya saja. Mulailah aku membuat sketsa wajahnya. Sesekali mata kami tertangkap basah sedang memperhatikan satu sama lain.Tiba - tiba ia berjalan kearahku.
“Aku Mario” ucap lelaki itu
“Hey, bolehkah aku bertanya?” tanyaku sedikit ragu. Kini ia menatapku. “Tentu.” Jawabnya singkat.
“Kenapa kau bisa menggambar wajahku? Kita baru beberapa saat bertemu? Apa sekarang aku sedang bermimpi?” tanyaku.
“Mimpi? Apa kau berpikir begitu?” Mario balik bertanya.
“Ya, begitulah.”
“Kalau begitu kau benar. Ini semua hanyalah mimpi. Ini adalah dunia yang kau ciptakan dengan imajinasimu. Aku juga bagian dari imajinasimu.” Jawab Mario. Aku tertegun mendengar jawabannya itu.
“Itu artinya kau tidak nyata?”
“Ya. Saat kau terbangun dari tidurmu, maka aku akan menghilang dan kau harus melupakan lelaki yang bernama Dave”
 “Tapi...”
 “Sepertinya aku harus pergi sekarang. Selamat tinggal April.” Ucap Mario. Sebelum pergi Mario sempat memberiku sebuah hadiah, yaitu sebuah cium manis di keningku. Harusnya aku merasa senang, tapi kenapa aku malah merasa sakit? Apa karena Mario akan pergi?
“Kuharap kita bisa bertemu lagi.” Kata Mario. Perlaan-lahan semuanya menghilang. Bukan hanya Mario, tapi semua orang ikut sirna, bahkan aku tak pernah mengikuti kursus melukis sekalipun. Kini yang kulihat hanyalah kegelapan yang pekat mengelilingiku tanpa sedikit pun cahaya yang menerangi pandanganku.
pukul 02.00 Aku terbangun, ternyata aku tertidur dibalkon, aku segera bergegas kekamar untuk melanjutkan tidur. Tanpa sadar tiba- tiba aku menangis. Masih melekat dalam benakku mimpi indah itu. Bisakah mimpi itu terulang kembali? Masih bisakah aku bertemu dengannya? Aku harap semua itu bisa terjadi. Suara jam weker mendengung di telingaku. Tanpa sadar aku tertidur di lantai saat menangis tadi. Kulihat jam telah menunjukkan pukul 05.45. Meski masih ingin berada ditempat tidur, tapi lebih memilih keluar dihari Minggu pagi bersama teman - teman, karena aku sadar kalau sekarang aku tak lagi berada di dunia mimpi atau imajinasi tapi sekarang aku telah berada di dunia nyata.

Di pinggir taman dengan suasana yang tepat, angin sepoi-sepoi menemaniku. Kutatap langit indah yang dipenuhi awan awan putih, burung- burung berterbangan kesana kemari, bernyanyi dan menari.
“Pril! bengong aja, gue beli ice cream potong dulu yah diujung, lu jangan kemana - mana. Mau nitip gak?” ucap Amy mengagetkanku.
“ah lo my! ngagetin aja, yaudah sana gih beli, ge nitip satu ya. hehe.”
“Okedeh, jangan ngilang!”. Bayangan Amy mulai hilang, aku duduk dipinggir taman sendiri. Tiba - tiba pria berbaju orange menarik perhatianku. Aku memperhatikan pria itu. Rasanya dia sangat mirip dengan orang yang kukenal. Apa kami pernah bertemu?.Saat ia berjalan, aku terus memandanginya karena aku yakin aku
pernah bertemu dengannya. Hanya saja aku tak ingat dimana. Tiba-tiba iaberjalan didepanku.
“Mario?” kataku setelah mengenali wajahnya.
“Mario?” pria itu nampak bingung. “Dari mana kau tau namaku? Apa kita
pernah bertemu?” tanyanya
“Tidak mungkin. Apa aku bermimpi lagi?” Kucoba memukul tanganku sendiri dan ternyata rasanya sakit. Apa artinya ini bukan mimpi? Apa ini kenyataan? Ya, ini memang kenyataan. Ternyata Mario bukan hanya imajinasiku.
“Hey, dimana kita pernah bertemu?” tanyanya lagi.
“Kurasa dalam imajinasiku.” Jawabku sambil tersenyum.
“Imajinasi? Maksudmu?”
“Lupakan saja!” kataku mencoba menghentikan pembicaraan ini.
“Ayolah, beritau aku!” katanya penasaran. Ia terus bertanya sambil duduk disampingku.
Tak lama kemudian Amy datang
“Cie ditinggal bentar udah gandeng cowo aja nih, wkwk. Siapa Pril? Kenalin dong” ucap Amy sambil menyodorkan ice cream.
“Ih Amy, Ini Mario, Io kenalin ini Amy” Mereka saling berkenalan..
“Iya, kita mau kemana lagi nih, udah panas banget mataharinya?” Tanya Amy
“Kamu mau pulang my? Yaudah deh” Jawabku
“Kok pulang? baru juga duduk, gue masih kepo nih soal tadi” ucap Mario
“Yaudah ginia aja, kalian jalan berdua, gue pulang ya soalnya udah panas banget nih hehe”
Bayangan Amy mulai menghilang.

Aku dan Mario memutuskan pergi keMall. Semenjak hari itu kami sering berdua, bahkan Mario sering menjemputku sekolah, hampir setiap akhir pekan kita menghabiskan waktu bersama, kadang kami gambar bareng dirumahku, walaupun status kami masih teman. Mario membuatku melupakan Dave. Bintang jatuh begitu nyata untukku, Mario adalah bintang terindah, ia seperti Patrick selalu membuatku tertawa dengan tingkah bodohnya. Itu artinya dia bukan hanya imajinasiku. Dan yang aku sadari adalah, imajinasi tak hanya berada dalam pikiranmu, tapi mungkin ia juga bisa muncul dalam kehidupanmu.

END

Selasa, 14 Oktober 2014

The first Drawing with Watercolour Pencil

By looking at my previous playful drawings and art I feel inspired to go back to making art without thinking or planning. By just letting it happen, letting it flow and never judging the end results. I feel so much Happier Now.

This is the first painting that I created using Watercolour pencil, I took my inspiration from Van Gogh's Famous 'Starry Night' and gave it swirl whirl of my own. I regret not making
this on a better quality paper and printed words on crappy paper.










Something I Need To Say.....But I can't quite find the words. I'm pretty wolf.

 

 
This one I will be finished with watercolor pencil. I will make my graffiti name. 

 

 

 

 

 
 This painting I made for my friend's birthday, Mega.



 
This painting I made for my Teacher's birthday, Ma'am Yanti.

 


I'm not an artist. I just draw whatever makes me happy. don't be bored to visit my amateur work. Let's do what makes you happy!

Senin, 08 September 2014

Dancing Just For Fun

Jadwal sekolah atau aktivitas di sekolah kadang buat aku jenuh. Mungkin hal itu sesuatu yang wajar saja, sebab yang namanya rutinitas, apa pun bentuknya berpotensi membuatmu jenuh. Walaupun diselang pelajaran kosong aku menggambar, tapi terlalu lama menggambar bisa membuatku pusing.
Nah dari kejenuhan itu, muncul hobi baru deh menari hehe, lebih tepatnya sih hobi lama bersemi kembali (CLBK kali ah :-D).

Biasanya sih kalo menghilangkan jenuh abis sekolah dan Kursus aku hangout di Mall dengan sahabatku. Kadang nonton, baca buku di Gramedia ( baca doang wkwk ), makan, ke Nav, ya nongkrong gak jelas gitu deh. Sekarang aku sadar kalo rutinitas itu menyita waktu dan uang banget. Kebetulan temanku suka dancing, jadi kami sering latihan menari untuk menyegarkan pikiran aja sih hehe. Nih foto waktu aku latihan :D





Menari bukan hanya untuk kesehatan fisik, ternyata menari juga bagus untuk kesehatan mental. Menggerakkan tubuh dalam sebuah gerakan tarian terbukti memberi efek positif bagi kesehatan mental remaja putri. Let's Dance!!!

Selasa, 02 September 2014

My Sketches, August 2014

to play my art journal...


Here is a picture in my last post
I make it at the weekend.

Lee Min Ho,  one of the Korean actors that I like

 mysterious woman.

Notebook, My new class


The final sketch in this Month. See a short time-lapse sketch of it here. 

Minggu, 31 Agustus 2014

Awal Mula Kegemaran Part 2


Menggambar itu Kebebasan...

Sebenernya sih aku jarang gambar dan gambarku jauh dari kata bagus, lebih tepatnya sih gak indah buat dilihat wkwk. Ya cuma bisa gambar graffiti, doodle, abstrak gitu udah cukup puas sih menurutku (dulu). Aku jadi rajin gambar pas kenaikan kelas11. Waktu itu gue lagi galau parah abis diputusin, ya gitu deh kalo baru kenal pacaran, pasti kalian pernah ngalamin kok yang namanya galau parah. Yang lebih parah tuh abis mutusin gue,doi pacaran sama cewek lagi, dan yang lebih lebih parahnya lagi pacarnya doi tuh cantik bingitsss...  Rasanya itu kaya dibawa burung terbang, terus dijatohin diatas bukit, nabrak banyak orang, abis itu nyemplung ke ... ke sumur yang paling dalem, susah buat naik lagi. beehhhh xD

Nah semenjak itu, gue pribadi lebih suka gambar asal asalan dan manga Jepang, meski gak bagus tapi gue puas dan bisa melampiaskan emosi gue ke arah yang positif.

 Nih dulu gue alay bingits pas diputusin HAHAHA
 


Nah, Udah selesai melihat-lihat...? sekarang waktunya komentar... Awas kalo gak..,, hihihi..:-p.. Lebih dan kurangnya mohon maaf.
Sampai di sini dulu postingan dari saya, tapi tenang nanti Insya Allah saya akan posting gambar-gambar gak jelas saya yang lainnya di next postingan hehe. See you

Jumat, 29 Agustus 2014

Awal Mula Kegemaran Part 1

Hallo teman2 Aku akan ceritakan sedikit awal kegemaranku.
Namaku Ekwina Aprilia, kalian bisa panggil aku Wina. Tapi banyak juga yang panggil aku Jenong, aku heran kenapa mereka panggil aku Jenong. Padahal kata Mama Papaku, aku gak jenong, cuma jidatnya aja yang kelebaran diket Hehe :D
Sejak kecil, aku menyukai gambar-gambar kartun dan film kartun yang lucu. Aku juga suka baca komik . Dulu sih sering di beliin komik sama Mamaku, tapi semenjak aku duduk di bangku SMK, aku sering minjem komik diperpustakaan, kadang juga aku sering beli komik bekas agar bisa irit uang jajan Hehe.

Aku mulai gambar sih pas kelas 9, ya gambar graffiti dan abstrak gitu, pas pertama kali aku gambar sih terinspirasi sama temen SD sekaligus SMP ku yang bernama Wahyu AlHamid, soalnya graffiti yang dia buat keren banget dan dia juga jago main gitar, tokoh yang mengispirasi banget kan hehe.


Nih gambar graffiti, doodle art, dan gambar abstrak yang enatah apa namanya wkwkw gambar gambar awal mula kegemaran gue.

ini graffiti art yang gue buat saat kelas 9


 Nah kalo yang ini doodle art yang gue warnain pake spidol lalu di potong unyu unyu gitu, terus ditambah nama nama orang yang gue kenal hehe xD


Temen minta buatin hehe Iseng-iseng sih, padahal brantakan, ya segitu sih gambarnya... namanya juga belajar wkwkw yang penting tulus dari dalam hati, karena pada dasarnya Doodle Art itu merupakan seni menggambar sumbernya dari hati sehingga menghasilkan gambar-gambar aneh bahkan abstrak namun bermakna :D



Kalau lagi bengong atau senggang, daripada ga bermanfaat mending iseng-iseng corat-coret di kertas. Lumayan lemesin jari sekalian meluapkan emosi. Itulah yang aku lakukan meski tidak sering. Setelah menggambar ada perasaan puas dan senang, apalagi kalau gambarnya sudah diberi warna. Menggambar tidak harus bagus. Kalau mau bagus yaa itu sudah ahli namanya. 
Aku akan berusaha terus menerus dan tidak putus asa walau pernah mengalami kegagalan.. :)