Jumat, 21 November 2014

Kau Tutupi Pahit Kopi Dengan Manis Gula


IMG-20141120-03610
Kamu tahu tentang kisah sebuah meja kursi bambu?
Tentang aroma yang menjadi candu
Tentang ocehan manusia pecandu
Aku ingin menyeduh secangkir kopi
Kukira secangkir kopi akan melembutkan ceritaku
Kamu mau minum kopi juga?
Pagi ini ku seruput Kopi nikmat dan hangat, berasa mampu menghilangkan sisa-sisa dingin hati Sebulan yang lalu. Hening, kosong, dan seakan tak berada di tempatnya. Ku pandangi pemandangan pagi di balik jendela kamarku, dan sesekali tersenyum lalu kembali keranjag empukku sambil melihat foto-foto ku bersama seseorang yang pernah menjadi kekasihku. Aku tidak pandai menyimpan kenangan. Bagiku, masa lalu hanyalah serbuk kopi yang akan lenyap tersapu air hujan. Hilang tanpa bekas. Aku tidak suka mengenang, apalagi menyimpannya dalam pahatan memoriku. Mungkin aku perempuan aneh di antara deretan perempuan lainnya. Kebanyakan perempuan ditakdirkan sebagai pengingat ulung, yang susah melupakan kenangan, teraniaya oleh masa lalu. Tetapi, aku lebih menyukai hal-hal yang akan kulalui, bukan yang sudah kulalui.
Begitupula kenanganku tentangmu. Tak banyak yang bisa kuingat selain raut wajahmu yang chubby, tampan,  rambutmu yang sedikit gondrong, ciumanmu dengan seorang gadis yang membuat kita berpisah, dan yang paling kuingat kau satu dari sedikit lelaki yang tidak mengerenyitkan dahi secara aneh melihat kebiasaanku menikmati kopi. Kisah cinta yang harusnya menorehkan kenangan manis, tetapi, toh, ketika perpisahan kita terjadi, aku melupakanmu dalam hitungan minggu. Aku menggantikanmu dengan orang-orang baru. Lalu orang baru berganti dengan yang lebih baru. Begitu seterusnya hingga jejakmu benar-benar hilang tanpa bekas.
Kuhirup dalam-dalam semerbak wangi kopi sambil melayangkan kembali pikiranku ke memori pagi itu.
Namanya Rico
“Penikmat kafein murni?” terdengar suara berat dari arah belakang.
“Eh, iya. Butuh yang pahit biar bisa bangun”, aku terkejut, tiba-tiba lelaki yang duduk dipojok caffe itu duduk di sampingku.
“Well, Gue Rico”
Kubalas jabat tangannya sambil tersenyum.
“Vini
“Jadi, hanya kopi? Tanpa embel embel apa apa?”
Aku mengangguk “Gue butuh wangi orisinilnya untuk bangun. Hitam, pekat, pahit, hangat. Period.”
“Well, kopi yang sederhana”
Aku mengangkat mug ku dan tersenyum.
Obrolan kami mengalir dengan mudahnya. We have many things in common. Kopi, musik, seni rupa hingga filsafat yang gak ada titik terangnya. Pembicaraan yang terus berlanjut hingga aku menyesap tetesan terakhir dari kopi pertama pagi itu. Kopi yang terasa berbeda. Kopi pahitku yang biasanya datar kini kaya rasa. Entah kenapa. Mungkin karena terpana oleh senyum hangatnya. Bisa juga karena pandangan mata meneduhkannya.
Beberapa hari kami bertemu dan kencan, hingga hari ini kopi terasa manis klimaks, karena kami memutuskan untuk berpacaran.
Hubungan kami sudah hampir berjalan 5 bulan, esok tepat hari jadi kami. Aku berencana menyiapkan snack dan mendownload beberapa film box office untuk kami tonton besok malam. Aku berjalan ke Supermarket terdekat, tiba-tiba aku melihat Rico disebrang jalan, aku menghampirinya, namun wanita lain menghampiri sambil memeluknya. Rico pun membalaspelukan gadis itu, dan diciumlah keing gadis itu. Aku yang sudah meneteskan air mata, segera pulang. Setelah sampai dirumah aku menelpon Rico, untuk memutuskan hubungan kami.
Berkali-kali Rico menelponku untuk meminta penjelasan, tapi aku tak  menanggapinya.
Beberapa hari berlalu…
Aku kembali ke caffe tempat pertamaku mengenal Rico. Kuresapi kembali kopi pertama yang ku racik sendiri pagi ini. Kekentalannya sempurna. Namun pahit yang terasa tetap sama. Pahit sepahit-pahitnya.
Pria yang akhirnya menemaniku menyesap pahitnya kopi selama lima bulan terakhir di pagi hari.
“Kenapa mesti pahit?” tanyanya .
“Apanya?”
“Kopimu, kenapa harus hitam dan pahit?”
“Karena ada kamu” cetusku
Ia menggeleng, “Bisa kau jelaskan, kenapa kita jadi begitu jauh dan kenapa kopmu jadi sepahit ini? Sini aku cium, nggak pake pahit, dan pasti kamu bakal kebangun” cetusnya jahil.
Ritual pagi ku telah minus sepi. Aku mengundang seseorang ke dalamnya. Tak hanya sampai situ, aku bahkan mengundangnya ke dalam hati.
Aku tertawa mendengar pertanyaannya.
“Well, kenapa ya?
Hmm, somehow aku suka rasa pahitnya. Seperti hidup aja. Pahit yang muncul dalam keseharian justru buat hidup lebih kaya rasa”.
Ia melangkah mendekat lalu menatap mataku dalam-dalam, “Aku nggak pengen ada pahit sama sekali dalam harimu kecuali pahit yang kamu rasakan dari secangkir kopi pagi”
My heart skips a beat. Aku tak pernah kuasa mengendalikan diri jika ditatap olehnya seperti ini.
“Kenapa?” tanyaku tergugu, tak tahu harus berkata apa.
“Aku sayang kamu, Vin”, ujarnya lembut sambil mengecup keningku.
Secepat mungkin ku lepaskan kecupannya dan berlari pergi minggalkan kopi pahit dan menjauhi caffe itu.
Hingga sebulan kemudian, Rico mengajakku menghabiskan weekend bersama kopi dicaffe yang baru dibuka diperempatan jalan rumahku. Kami memutuskan menjadi sahabat. Sahabat yang memahami kopi sahabatnya, Sahabat yang dapat menutupi kopi pahit dengan manis senyum sahabatnya.

Autumn In Paris

Gambar ini terinspirasi salah satu novel Ilana Tan yang berjudul “Autumn In Paris”
B2ujn_tCAAEsrYO
“Apakah ada yang tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tidak boleh dicintai? Aku tahu. Hidup ini sungguh aneh, juga tidak adil. Suatu kali hidup melambungkanmu setinggi langit, kali lainnya hidup menghempaskanmu begitu keras ke bumi. Ketika aku menyadari dialah satu-satunya yang paling kubutuhkan dalam hidup ini, kenyataan berteriak di telingaku dia juga satu-satunya orang yang tidak boleh kudapatkan.”
― Ilana TanAutumn in Paris
“Selama dia bahagia, aku juga akan bahagia. Sesederhana itu.”
― Ilana TanAutumn in Paris
“Seandainya masih ada harapan – sekecil apapun untuk mengubah kenyataan, ia bersedia menggantungkan seluruh hidupnya demi harapan.”
 Ilana TanAutumn in Paris
“Sekarang… Saat ini saja… Untuk beberapa detik saja… aku ingin bersikap egois. Aku ingin melupakan semua orang, mengabaikan dunia, dan melupakan asal-usul serta latar belakangku. Tanpa beban, tuntutan, atau harapan, aku ingin mengaku.
Aku mencintainya.”
 Ilana TanAutumn in Paris
“Jangan marah padaku kalau aku menangis…. Hari ini saja…. Kau boleh lihat sendiri nanti. Kau akan lihat tidak lama lagi aku akan kembali bekerja, tertawa, dan mengoceh seperti biasa…. Aku janji….
-Tara Dupont”
― Ilana TanAutumn in Paris